Kantor Bupati Tasikmalaya Tahun
1925
Pertama nama ini merujuk kepada
satu dari tiga kabupaten di Priangan yang diresmikan oleh Sultan Agung dari
Mataram pada 9 Muharam Tahun Alif yang bertepatan dengan 20 April 1641. Dua
kabupaten lainnya adalah Kabupaten Parakanmuncang dan Bandung.
Peresmian tersebut merupakan
balas jasa Sultan Agung kepada umbul-umbul di Priangan Timur yang membantu
menumpas pemberontakan Dipati Ukur kepada Mataram. Pada 1632, umbul Sukakerta
Ki Wirawangsa bersama dengan Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala dan Umbul Sindangkasih
Ki Somahita menahan dan membawa kepala daerah Tatar Ukur itu ke Mataram untuk
dihukum mati. Sebagai imbalannya, dalam piagam bertanggal 9 Muharam, itu Sultan
Agung mengangkat Ki Wirawangsa sebagai Bupati Sukapura bergelar
Tumenggung Wiradadaha; Ki Astamanggala menjadi bupati Bandung bergelar
Tumenggung Wiraangun-angun; dan Ki Somahita sebagai Bupati Parakanmuncang
bergelar Tumenggung Tanubaya.
Nama Sukapura menurut Babad
Soekapoera (R. Kertianagara), berasal dari kata “suka” yang berarti “asal” atau
“tiang” dan “pura” berarti “karaton” atau istana. Dengan demikian, Sukapura
bisa mengandung arti “djedjerna karaton” atau “asal-mula istana”, karena di
tempat itulah kabupaten Sukapura berdiri. Meskipun nama Sukapura bisa juga
sebenarnya diambil dari nama desa yang menjadi bawahan Distrik Sukaraja, karena
kemudian terbukti Ki Wirawangsa memindahkan ibukota kabupaten dari Dayeuh
Tengah ke Leuwi Loa, yang termasuk Desa Sukapura Onderdistrik Sukaraja.
Dilihat dari perkembangannya,
sejak awal pendirian Kabupaten Sukapura hingga tahun 1901, kota yang kini
dikenal sebagai Tasikmalaya tidak termasuk ke dalam wilayah Sukapura. Mulanya,
ia masuk wilayah Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sumedang. Mula-mula
Kota Tasikmalaya dikenal sebagai bagian dari Umbul Galunggung atau Indihiang,
yang termasuk Kabupaten Parakanmuncang. Kemudian sejak 1820 muncul nama distrik
Tasikmalaija op Tjitjariang (Tasikmalaya atau Cicariang) dan inilah kali
pertama nama Tasikmalaya mengemuka dalam sejarah sebagai nama sebuah wilayah.
Pada 1839, Distrik Tasikmalaija
op Tjitjariang diringkas menjadi Distrik Tasikmalaija dan pada 1901 distrik
tersebut dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura. Perubahan
yang sangat berarti terjadi pada 1913, karena sejak itu secara resmi Kabupaten
Sukapura berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Perubahan ini mengikuti
nama ibukota kabupaten sesuai dengan kebijakan kolonial Hindia Belanda.
Dari sisi toponiminya, nama
Tasikmalaya menimbulkan berbagai penafsiran. Dalam kedua buku di atas misalnya,
ada dua pendapat yang menyatakan asalusul nama Tasikmalaya. Pertama, nama itu
terbentuk dari kata “tasik” dan “laya”. “Tasik” berarti “keusik” atau pasir dan
“laya” berarti “ngalayah” atau menghampar. Jadi, Tasikmalaya diartikan sebagai
“keusik ngalayah” atau pasir yang menghampar akibat letusan Gunung Galunggung
pada 8 dan 12 Oktober 1822.
Kedua, nama itu terbentuk dari
kata “tasik” dan “malaya”. “Tasik” yang berarti telaga, danau, atau air yang
menggenang dan “malaya” berarti jajaran gunung-gunung. Dengan demikian,
Tasikmalaya dapat diartikan sebagai jajaran gunung-gunung yang berjejer dalam
jumlah yang banyak, seperti yang terekam dalam ungkapan “Jajaran gunung-gunung
téh lobana lir cai laut” yang berkembang di masyarakat Tasikmalaya.
Pendapat kedua ini pun
dihubungkan dengan letusan Galunggung 8 dan 12 Oktober 1822. Bedanya, tafsiran
kedua menyertakan fenomena terbentuknya sekitar 3.648 bukit kecil (hillocks)
yang dikenal sebagai “10 ribu bukit” di sekitar Tasikmalaya, akibat letusan
tersebut.
Namun, bila merujuk kepada
penamaan wilayah sebagaimana yang dapat dibaca dari buku Miftahul Falah, kedua
pendapat tersebut tertolak, karena nama Tasikmalaya sebagai nama daerah sudah
digunakan sejak tahun 1820, dua tahun sebelum terjadinya letusan Galunggung
pada 8 dan 12 Oktober 1822.
Penafsiran lainnya mengenai
toponimi Tasikmalaya disampaikan geologiawan senior M.M. Purbo Hadiwidjoyo pada
muhibah kebumian 23-26 Januari 2013 dari Tasikmalaya hingga Banjarnegara. Di
sela-sela perjalanan, antara lain di Jembatan Cirahong dan Hotel MGriya Guest
House, Purwokerto, Purbo menerangkan bahwa kata Tasikmalaya berasal dari kata
“tasik” yang berarti “danau”, awalan kata kerja “ma-“ dan “laya” yang berarti
“mati”. Sehingga pengertian Tasikmalaya menurut Purbo adalah danau yang di
dalamnya banyak mayat terapung-apung.
Memang, penafsiran tersebut ia
kaitkan dengan kegiatan Gunung Galunggung. Namun, kegiatannya bukan yang
terjadi pada 1822, melainkan jauh sebelum itu, bahkan ribuan tahun sebelum itu.
Kala itu Gunung Galunggung meletus sangat dahsyat. Ledakannya menghancurkan
dinding timur Galunggung. Lontarannya sampai ke Manonjaya dan menutup alur
Sungai Citanduy Purba. Karena tertutup, maka jadi danau. Air danaunya mula-mula
mengalir ke selatan jadi Sungai Cibulan. Sebagian airnya bergabung dengan air
dari Galunggung, Cakrabuana, dan gunung-gunung di sekitar Purwokerto yang
dipengaruhi oleh budaya Sunda atau bercorak Sunda, contohnya, Cilongok,
Rancamaya, Baturaden, Darmaraja, Tangkil, Pageraji, Pakuncen, Babakan, Cimerang,
dan Paguyangan.
Hal ini, mungkin karena dulu di
Purwokerto pernah berdiri Kerajaan Pasir Luhur bagian dari Kerajaan
Sunda-Galuh. Kali Serayu dan Bendung Hidraulik Pertama di Gambarsari Hari
kedua, mula-mula kami menepi di tepi jalan yang berbatasan dengan Kali Serayu
arah dari Purwokerto, setelah melewati dua bukit tempat terowongan kereta api.
Dari tempat itu ke arah hulu tampak jembatan kereta api melintasi Kali Serayu,
sedangkan ke arah hilir terlihat bendung Gambarsari.
Kami pun menyambangi tempat poros
bendung itu. Sungai Serayu atau Kali Serayu, dulu dalam naskah Bujangga Manik
disebut juga Ci Sarayu, benar-benar merupakan sungai besar. Salah satu mata
airnya, bernama “Tuk Bima Lukar”, berada di dataran tinggi Dieng. Dari hulunya
di daerah Dieng hingga ke muaranya di dekat pantai Cilacap, sekitarnya,
sehingga membentuk Sungai Citanduy Baru yang alirannya memutar dan menembus ke
Cirahong. Saat letusan Galunggung itu, sudah ada manusia. Sehingga setelah
pembendungan Citanduy Purba oleh lahar Galunggung dan pembentukan tasik atau
danau, banyak penduduk di sekitarnya menjadi korban dan memenuhi danau itu,
sehingga daerah tersebut dinamakan Tasikmalaya.
Untuk memperkuat pendapatnya,
Purbo mengetengahkan Kampung Naga di Salawu sebagai daerah yang selamat dari
letusan besar Galunggung itu dan kemudian terbebat (terisolir) dari penduduk
lainnya, sehingga tata budaya mereka cenderung berbeda dengan penduduk lainnya.
Bagaimanapun, menafsir
Tasikmalaya adalah upaya terbatas. Tafsiran-tafsiran di atas adalah cara untuk
mendekati kebenaran melalui bahasa yang secara turuntemurun digunakan untuk
merekam kejadian alam.
Penanda “tasik” yang disangkutkan
dengan pasir maupun danau dan “laya” yang disangkutkan dengan hamparan, jajaran
gunung-gunung, atau kematian, semuanya hendak membongkar petanda di balik kata
Tasikmalaya yang bertaut dengan peristiwa alam.
0 komentar